Bicara
kelistrikan nasional tidak lepas dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
merebut kemerdekaan. Embrio PT PLN pun erat hubungan dengan pembangkit yang
dimiliki orang Belanda. Jika menilik sejarah, ternyata kelistrikan di Tanah Air
telah muncul pada akhir abad ke-19. Saat itu berdiri perusahaan listrik milik
swasta, Nederlands Indische Waterkracht Electriciteit Maatschappji (NV NIGM),
Regional Consessie Pembangkit listrik milik swasta terdapat di beberapa daerah.
Dengan menyerahnya kolonial Belanda kepada Jepang, pembangkit listrik tersebut
berpindah tangan ke penguasa Jepang.
Indonesia
memiliki tahun penting terkait kelistrikan nasional. Pada 1945, tepatnya pada
27 Oktober, Presiden Soekarno mendirikan jawatan listrik dan gas. Selanjutnya,
pada tahun 1961 BPU Perusahaan Listrik Negara dibentuk, hingga pada tahun 1972
PLN ditetapkan sebagai perusahaan umum. Pada tahun 1994, PLN kemudian menjadi
perusahaan persero. Tahun tersebut merupakan akhir dari monopoli PLN dalam
usaha bidang kelistrikan secara integral. Sebab kebijakan Pemerintah mulai
memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis
penyediaan listrik utamanya adalah di sisi pembangkitan.
Pada masa itu PLN kualahan untuk memasok
Energi listrik secara keseluruhan, Perusahaan pembangkit Listrik swasta melalui IPP telah mulai
menunjukkan perannya secara signifikan dan dibutuhkan oleh PLN. Pembelian
tenaga Listrik oleh PLN kepada pihak swasta pada tahun 2009 meningkat sekitar
23% jika dibandingkan dengan pembelian pada tahun 2008. Dengan demikian
pembelian tenaga listrik telah mengambil porsi 19% dari seluruh biaya
operasional PLN. Bahkan walaupun energi listrik dari Suralaya unit 8 (700 MW)
dan Indramayu (2x300 MW) akan segera masuk ke sistem Jawa Bali, tetapi dengan
demand yang terus meningkat, hampir pasti tidak bisa dipungkiri, dalam keadaan
sulitnya pendanaan untuk investasi guna menambah kapasitas, PLN akan masih
terbelit defisit daya. Oleh karena itu, kehadiran listrik swasta melalui IPP
bagi PLN dirasakan sangat membantu.
Perusahaan pembangkit Listrik swasta melalui IPP telah mulai
menunjukkan perannya secara signifikan dan dibutuhkan oleh PLN. Pembelian
tenaga Listrik oleh PLN kepada pihak swasta pada tahun 2009 meningkat sekitar
23% jika dibandingkan dengan pembelian pada tahun 2008. Dengan demikian
pembelian tenaga listrik telah mengambil porsi 19% dari seluruh biaya
operasional PLN. Bahkan walaupun energi listrik dari Suralaya unit 8 (700 MW)
dan Indramayu (2x300 MW) akan segera masuk ke sistem Jawa Bali, tetapi dengan
demand yang terus meningkat, hampir pasti tidak bisa dipungkiri, dalam keadaan
sulitnya pendanaan untuk investasi guna menambah kapasitas, PLN akan masih
terbelit defisit daya. Oleh karena itu, kehadiran listrik swasta melalui IPP
bagi PLN dirasakan sangat membantu.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII
DPR, Senin (25/1), Direktur Manajemen Bisnis dan Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin
mengatakan, model bisnis tersebut harus bankable,
acceptable dan sustainable. Ketiga persyaratan ini diperlukan mengingat
dalam pengembangan IPP diperlukan modal yang ekonomis. Murtaqi mengatakan, ke depan peranan
kontraktor listrik swasta sangat dibutuhkan, mengingat dari kapasitas
pembangkit yang akan dibangun hingga 2015 sebesar 30.000 Megawatt (MW)
sebagiannya akan dibangun oleh swasta. “PLN hanya mampu membangun 15.000 MW dan
sisanya diharapkan dibangun oleh IPP,”
terangnya. Selain itu, PLN akan mengkaji ulang kontrak-kontrak dengan
pengembang listrik swasta. Hal ini dilakukan lantaran PLN menyadari dengan
fluktuasi harga bahan bakar pembangkit dan kondisi perekonomian global,
otomatis semua harga-harga akan terkerek naik.
Di tempat yang sama, Ketua Umum
Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) A Santosa menuturkan, PLN
dengan kondisi perekonomian saat ini harus lebih realistis. “PLN juga harus
bisa melihat perkembangan,” ujarnya. Ia menjelaskan, pihaknya menginginkan PLN merenegosiasi
kontrak hingga mencapai keekonomian. Pasalnya, harga jual yang dulu sudah tidak
relevan lagi. “Banyak proyek IPP terhenti karena biaya operasi tinggi, tapi
kontraknya rendah,” katanya. Sementara itu, pengamat ekonomi energi A Prasetyantoko melalui
siaran persnya mengatakan, pemerintah tidak konsisten dalam menerapkan pola
Kemitraan Pemerintah-Swasta (public-private partnership/PPP)
di sektor infrastruktur, khususnya kelistrikan. “Pelaksanaan PPP tidak berjalan
semestinya sampai saat ini. Sebab, ada ketidakonsistenan antara kebijakan PPP
dan penerapannya,” ujarnya.
Menurut Prasetyantoko, pemerintah tidak
mendukung pertumbuhan pembangunan infrastruktur listrik oleh swasta. Padahal,
pemerintah berharap swasta berperan dalam proyek infrastruktur kelistrikan.
Dia mencontohkan, ketidaksesuaian antara pekerjaan dan kebijakan (action against policy). Di satu sisi, pemerintah lewat
PLN menciptakan kebijakan keterlibatan peran swasta. Di sisi lain, pemerintah (PLN) juga
menghalangi swasta berkembang karena ingin mengerjakan sendiri semua proyek
yang bisa dikerjakan swasta. Dalam
konteks pelibatan swasta, katanya, PLN harus mampu membuat prioritas. PLN harus
mengutamakan pengerjaan proyek-proyek yang tidak mungkin dikerjakan
swasta, baik karena tidak layak komersial (tapi mutlak harus dibangun) atau pun
akibat adanya larangan regulasi seperti umpamanya transmisi, gardu induk, dan
pembangkit-pembangkit di wilayah tertentu. Sedangkan proyek-proyek yang lain,
diserahkan sepenuhnya kepada swasta untuk mengerjakan.
Prasetyantoko berharap peraturan pemerintah
(PP) sebagai aturan pelaksana dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan harus segera diterbitkan. Pemerintah dan pelaku usaha
tidak bisa hanya berpegang pada UU No. 30/2009, karena Undang-Undang tersebut
dinilai "banci". ”Undang-Undang itu di satu sisi memberikan peran kepada
swasta untuk terlibat, tapi di sisi lain belum sepenuhnya menghapuskan monopoli
PLN,” tandasnya.
Daftar
Pembangkit Listrik Swasta
Daftar Pembangkit Listrik Swasta yang
belum beroperasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar