Rabu, 02 September 2015

Makalah "krisis ketenagalistrikan" 02

KRISIS KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA


Nilai   :
 
 




PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
2013


Daftar Isi

Bab I Pendahuluan ……………………………………………………………………………   3
1.1  Latar belakang masalah ………………………………………………………………   3
Bab II Kajian Pustaka ………………………………………………………………………...   5
2.2  Landasan teori …………………………………………………………………………   5
Bab III Pembahasan ………………………..…………………………………………………   6
3.1   Kondisi Kelistrikan Di Indonesia .............………………………………….….……    6
3.2   Krisis Energi Yang Terjadi Di Indonesia …………………………………..………  12
3.3   Beberapa Daerah yang mengalami krisis ketenagalistrikan ………………..……   14
3.4  Solusi Dari krisis ketenagalistrikan yang terjadi ……………………………..…...   19 
Bab IV Penutup ………………………………………………………………………………. 23
4.1  Kesimpulan …………………………………………………………………………..  23


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Warga negara Indonesia menganggap bahwa listrik merupakan kebutuhan vital bagi kehidupannya sehari-hari. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia tidak dapat terlepas dari listrik. Bahkan di desa terpencil sekalipun saat ini sudah dapat menikmati fasilitas listrik. Namun kini, Indonesia sedang mengalami krisis listrik. Listrik menjadi sesuatu yang mahal dan langka disebabkan ketersediaannya yang sangat terbatas. Salah satu faktor yang menjadi pemicu kelangkaan listrik ini adalah pertumbuhan akan kebutuhan tenaga listrik yang semakin meningkat sementara tidak diimbangi oleh usaha penyediaan tenaga listrik yang memadai. PT. Perusahaan Listrik Negara Persero (PT. PLN) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan listrik di Indonesia. Namun faktanya, masih banyak kasus di mana mereka malah justru merugikan masyarakat. Di satu sisi kegiatan monopoli mereka dimaksudkan untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945 Pasal 33, namun di sisi lain, tindakan PT. PLN ini justru belum atau bahkan tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat.
Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang. Minimnya pasokan listrik sebagian besar dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sebagai pemasok 90% kebutuhan listrik nasional sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian listrih hingga korupsi. Stagnasi ini juga dipicu oleh pembangunan listrik yang tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan.

1.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa itu krisis ketenagalistrikan ?
2. Apa penyebab terjadinya krisis ketenagalistrikan ?
3. Apa dampak yang ditimbulkan oleh adanya krisis ketenagalistrikan ?
4. Bagaimana solusi krisis ketenagalistrikan?

3.   Tujuan
1.  Untuk mengetahui apa itu krisis ketenagalistrikan
2.  Untuk mengetahui penyebab terjadinya krisis ketenagalistrikan
3.  Untuk mengetahui dampak apa yang ditimbulkan oleh adanya krisis ketenagalistrikan
4.  Untuk mengetahui cara menanggulangi krisis ketenagalistrikan








BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Landasan Teori
Krisis ketenagalistrikan  di Indonesia sebagai akibat semakin menipisnya cadangan  bahan bakar minyak khususnya dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui telah menuntut Indonesia untuk mencari sumber bahan bakar alternatif yang bersifat dapat diperbarui (Sardjono 2006). Energi listrik merupakan kebutuhan primer yang vital untuk pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial. Ketersediaan tenaga listrik yang mencukupi, andal, aman, dengan harga yang terjangkau merupakan faktor penting dalam rangka menggerakkan perekonomian yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Berdasarkan data historis, mulai pada tahun 2005, konsumsi energi final di sektor ketenagalistrikan mengalami peningkatan dengan laju  pertumbuhan rata-rata sebesar 7% per tahun. Dari total konsumsi energi final tersebut,sebagian besar disuplai dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi fosil yang merupkan energi tak terbarukan sebagai bahan  bakar. Sebaliknya dalam kurun waktu yang sama pemanfaatan energi terbarukan belum optimal disebabkan energi terbarukan belum kompetitif dibanding dengan energi konvensional minyak bumi dan gas alam. Bahan Bakar Minyak merupakan faktor penting dalam melakukan kegiatan atau aktivitas baik perorangan maupun industri. Ketidakseimbangan  permintaan dan penawaran energi yang didorong pesatnya laju pertambahan  penduduk dan pesatnya industrialisasi dunia, mengakibatkan tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber energi utama dunia. Padahal cepat atau lambat sumber energi ini akan habis. Hal ini menyebabkan krisis Bahan Bakar Minyak.







BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Kondisi kelistrikan di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk suatu negara tentu saja sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan energi listriknya. Di Indonesia khususnya, masalah kelistrikan timbul akibat kebutuhan energi listrik yang meningkat lebih pesat dibandingkan kemampuan PT. PLN (Persero) untuk memenuhi pasokan listrik yang dibutuhkan. Akibatnya, terjadi pemadaman bergilir dimana-mana dan masih terdapat beberapa daerah di Indonesia yang belum mendapatkan kesempatan untuk dialiri listrik. Banyak perhatian di curahkan publik untuk mengetahui permasalahan kelistrikan nasional kita. Dengan berusaha untuk memberikan 1 saja jawaban dari 100 pertanyaan kecil diharapkan dapat menjawab sebuah pertanyaan besar.
1.      Kapasitas Terpasang
Sampai akhir tahun 2008 total kapasitas pembangkit terpasang di seluruh Indonesia mencapai 29.373 MW yang terdiri dari pembangkit milik PLN sebesar 24.763 MW serta pembangkit milik swasta atau IPP (Independent Power Producer) sebesar 4.610 MW. Sumatera 4.179 MW, Jawa-Bali 22.406 MW, Kalimantan 1.036 MW, Sulawesi 1.123 MW, Nusa Tenggara 300 MW dan Maluku dan Papua 330 MW. Untuk keterangan lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
http://indone5ia.files.wordpress.com/2011/05/tabel-1-kapasitas-pembangkit-terpasang-tahun-2008.jpg?w=640
Tabel 1. Kapasitas Pembangkit Terpasang Tahun 2008
Dari keterangan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa, kemampuan negara kita untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya sangatlah rendah. Apabila kapasitas pembangkit terpasang tiap daerah dibagi dengan jumlah penduduknya, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan listrik penduduk Indonesia yang dapat dipenuhi saat ini rata-rata hanya sebesar 60 watt saja. Tentu saja kondisi ini sangat tidak kondusif apabila ingin mengembangkan infrastruktur dan meratakan pembangunan di Indonesia.
2.   Rasio Elektrifikasi Nasional 
Rasio elektrifikasi adalah tingkat perbandingan jumlah penduduk suatu negara yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di negara tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, rasio elektrisifikasi nasional telah meningkat dari 59% menjadi 65% atau sekitar 1,5% per tahun. Peningkatan rasio elektrifikasi tersebut dilakukan melalui sambungan baru pelanggan PLN dan pemanfaatan energi setempat (PLTMH, PLTB, PLTS Terpusat dan PLTS Tersebar yang khusus diperuntukkan bagi daerah-daerah terpencil). Gambar 1 menunjukan tentang kondisi rasio elektrifikasi Indonesia sampai dengan tahun 2009 (65%). Dari tahun 2000-2008 seperti ditunjukan pada Gambar 2, laju pertumbuhan pemasangan baru dan penambahan daya  mencapai lebih dari dua kali lipat laju pertumbuhan kapasitas terpasang.
Gambar 1. Rasio Elektrifikasi Nasional 2009 per Propinsi
Gambar 2. Perkembangan Daya Mampu vs Beban Puncak
Gambar 3. Kondisi Sistem Kelistrikan Nasional
3.    Tarif Dasar Listrik
Tarif dasar listrik atau biasa disingkat TDL, adalah tarif yang boleh dikenakan oleh pemerintah untuk para pelanggan PLN. Saat ini TDL rata-rata adalah USD 0,065 /kWh. Pada awal 2008, tarif nonsubsidi pelanggan 6.600 VA ke atas sekitar Rp 1.122 per kilowatt-hour (kWh), sedang tarif subsidi sekitar Rp 656 per kWh.
Mulai 1 Juli 2010, pemerintah memutuskan menaikkan TDL rata-rata 10%. Hal ini didasarkan pada Pasal 8 UU No.2 Tahun 2010, untuk menutupi kekurangan subsidi sebesar Rp4,8 triliun karena alokasi anggaran subsidi listrik ditetapkan Rp.55,1 triliun. Tetapi untuk TDL 450-900 VA, DPR memutuskan tidak ada kenaikan.
Seperti yang kita lihat pada gambar dibawah ini, menurut data dari PT. PLN, berdasarkan aturan pemerintah tentang biaya operasi dan subsidi tahun 2009, besarnya subsidi listrik dari pemerintah adalah sebesar ~40% dari biaya operasi.
Gambar 4. TDL 2009

4.     Harga Jual Listrik Rata-rata Rumah Tangga Negara Asia Tenggara
Tahun 2009 pemerintah mengucurkan subsidi Rp 55,1 triliun. Subsidi tersebut diterangkan lebih rinci pada data pelanggan utama PT.PLN dibawah ini.
Rumah Tangga Pelanggan Utama
Dari total 40,2 juta pelanggan, rumah tangga merupakan pelanggan utama PLN. Sebagian besar pelanggan 450 watt.
Pelanggan rumah tangga
·         Rumah tangga kaya (> 6.600 watt): 96,5 ribu
·         Rumah tangga (2.200-6.600 watt): 489,5 ribu
·         Menengah (2.200 watt): 1,234 juta
·         Menengah (1.300 watt): 3,461 juta
·         Sedang (900 watt): 12,556 juta
·         Kecil (450 watt): 19,277 juta
·         Bisnis: 1,755 juta
·         Industri: 47,8 juta
·         Lainnya (pemerintah dan sosial): 1,256 juta





Jumlah pelanggan PLN : 40,2 juta pelanggan
Penduduk yang belum terlayani listrik  :18,9 juta kepala keluarga
TDL di Indonesia adalah yang termurah apabila dibandingkan dengan enam negara Asean lainnya. Berdasar data Kementerian ESDM, TDL rumah tangga di Indonesia rata-rata berkisar Rp 518 per kWh. Bandingkan dengan negara tetangga lainnya yang bila dikonversi ke nilai Rupiah seperti Thailand sebesar Rp 782 per kWh, Malaysia Rp 829 per kWh, Vietnam Rp 848 per kWh. Tarif listrik rumah tangga di Philipina dan Singapura bahkan berada di atas Rp. 1400/kWh. Sedangkan untuk tarif industri, tarif di Indonesia juga termasuk yang termurah di ASEAN setelah Vietnam.

Gambar 5. TDL PLN Komparasi dengan Negara Tetangga


5.  Peta Proyek Percepatan
5. 1 Peta Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap 1
Gambar 6. Peta Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap 1

5.2   Peta Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap 2
Gambar 7. Peta Proyek Percepatan Tahap 2


3.2  Krisis Energi yang Terjadi di Indonesia
Menurut Outlook Energi Nasional 2011, dalam kurun waktu 2000-2009 konsumsi energi Indonesia meningkat dari 709,1 juta SBM (Setara Barel Minyak/BOE) ke 865,4 juta SBM. Atau meningkat rata-rata sebesar 2,2 % pertahun. Konsumsi energi ini sampai akhir tahun 2011, terbesar masih dikuasai oleh sektor industri, dan diikuti oleh sektor rumah tangga, dan sektor transportasi.

http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/konsumsi-energi-sektoral.jpg?w=640
Gambar 1 Grafik laju konsumsi energi per sector

Dari sektor ketenagalistrikan, saat ini pembangkit listrik di Indonesia  masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar fosil, khususnya batubara. Sedangkan daerah yang masih mengalami kekurangan daya listrik seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, dan Papua pembangkit listriknya masih menggunakan BBM, yang dalam komponen biaya pembangkitan masih merupakan komponen terbesar.
Berikut ini adalah ilustrasi hitungan BPP listrik yg dilakukan oleh Direktorat Jenderal LPE ESDM tahun 2010 (sudah diaudit oleh BPK) sebagai berikut  :


Jenis Pembangkitan
1.      IPP Rp. 580,83 /kWh
2.      PLTAir Rp. 149,21 /kWh
3.      PLTUap Rp. 622,91 /kWh
4.      PLTDiesel Rp. 4.796,11 /kWh ß
5.      PLTGas Rp. 1.642,06 /kWh ß
6.      PLTPanasbumi Rp. 776,09 /kWh
7.      PLTGU Rp. 813,27 /kWh
Biaya rata-rata Rp. 817,69 /kWh
1.       Pada Transmisi HV Rp. 874,61 /kWh
2.       Pada Jaringan TM Rp. 928,95 /kWh
3.       Pada Jaringan TR Rp. 1.074,48 /kWh
4.       BPP rata-rata Rp. 1.008,29 /kWh ( th.2010 )
Saat ini, selain meningkatkan rasio elektrifikasi Indonesia,  pengurangan pemakaian BBM untuk pembangkitan listrik juga menjadi tujuan utama pemerintah. Dari tabel 1 dibawah ini terlihat bahwa dari tahun 2008-2009 pemerintah berusaha mengurangi pemakaian BBM dengan cara mempercepat pembangunan PLTU batubara dan gas bumi. Saat ini pemerintah juga sudah melarang direktur utama PT. PLN untuk membangun pembangkit listrik berbahan bakar BBM lagi di seluruh wilayah Indonesia. http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/penggunaan-bahan-bakar-pembangkit-listrik-pln.jpg?w=640
Tabel 1 Pemakaian bahan bakar pembangkit listrik PLN



3.2   Beberapa Daerah yang mengalami krisis ketenagalistrikan
Sistem kelistrikan Indonesia diluar sistem Jawa – Bali dan Madura yang terinterkoneksi, sebagian besar merupakan sistem kelistrikan yang relatif belum berkembang. dimana satu sama lainnya masih terisolasi. Sistem masih terdiri dari sub-sistem dan sub-sistem kecil yang masing-masing terpisah satu sama lain dan masih terdapat di daerah-daerah terpencil yang terisolasi. Berikut adalah kondisi kelistrikan di setiap wilayah di Indonesia per tahun 2004 :
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
Kondisi kelistrikan di NAD terdiri dari beberapa sistem kelistrikan dengan beban puncak mencapai 192 MW. Beberapa sistem sudah terintegrasi dengan Sumatra Utara melalui jaringan 150 kV dan telah menyalurkan daya kurang lebih 94 MW. Pemanfaatan PLTD masih digunakan di berbagai daerah tersebar di NAD terutama bagi daerah yang belum terhubung dengan jaringan. Desa terlistriki untuk wilayah NAD sudah mencapai 94% dengan rasio elektrifikasi sebesar 67%.

Sumatra Utara
Pertumbuhan infrastruktur tenaga listrik di Sumatra Utara diperkirakan masih tinggi yaitu sebesar 7,7% pertahun. Tingkat permintaan energi listrik di Sumatra Utara adalah yang terbesar di Pulau Sumatra saat ini, namun rasio elektrifikasinya masih rendah, baru mencapai 69%. Tarif listrik di Sumatra Utara belum mencapai tingkat keekonomiannya. Saat ini adanya wacana untuk memberlakukan tarif regional dan sedang dibahas dengan DPRD setempat.

Sumatra Barat
Desa berlistrik sudah mencapai 90% sedangkan rasio elektrifikasinya baru mencapai 60%. Sistem kelistrikan Sumatra Barat sudah terintegrasi dengan sistem kelistrikan di Riau, namun masih terdapat tiga sistem yang terisolasi karena terkendala masalah kondisi geografisnya. Daya terpasang saat ini sebesar 675 MW dengan kemampuan suplai energi listrik sebesar 605 MW, sedangkan beban puncak mencapai 486 MW.
Riau
Tenaga listrik di Riau tidak hanya disuplai oleh PT. PLN namun juga terdapat captive power dengan total kapasitas terpasang sekitar 2.135 MW yang terdiri dari PLTU 855 MW, 690 MW, dan PLTD sebesar 590 MW. Jumlah desa terlistriki baru sebesar 50% dengan rasio elektrifikasi sebesar 38%. Sebagian besar kelistrikan Riau sudah terhubung dengan Sumatra Barat. Kondisi geografis Riau terdiri dari kepulauan sehingga penyediaan energi listrik untuk konsumen disuplai melalui beberapa sistem kecil yang terisolasi. Beban puncak mencapai 300 MW terdiri pada sistem integrasi mencapai 168 MW dan sistem terisolasi sebesar 132 MW. Riau menerima pasokan dari Sumatra Barat sebesar 20 MW sampai dengan 50 MW.

Jambi
Penduduk Jambi mencapai 2,4 juta jiwa dan yang memperoleh aliran listrik dari PT. PLN (Persero) hanya mencapai 37% dengan total pelanggan 219 ribu. Sistem kelistrikan di Propinsi Jambi sudah terintegrasi dengan Propinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Disamping itu masih terdapat kebutuhan tenaga listrik di Propinsi Jambi yang disuplai dengan sistem yang terisolasi. Beban Puncak untuk sistem integrasi di Jambi mencapai 60 MW dan sistem yang terisolasi dengan perkiraan beban puncak 28 MW dengan total konsumsi listrik mencapai 497 GWH. Kapasitas terpasang sistem terisolasi mencapai 147 MW yang disuplai dengan PLTD. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di Propinsi Jambi juga disuplai dengan captive power yang diperkirakan mencapai 280 MVA, yang terdiri dari pembangkit utama sebesar 225 MVA dan 55 MVA sebagai cadangan. Sesuai kebijakan Pemerintah Daerah dan rencana tata ruang daerah telah diperuntukan beberapa daerah sesuai keperluannya seperti daerah pariwisata terdapat di Jambi Bagian Barat, lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan diperuntukan di Propinsi Jambi Bagian Tengah, Jambi Bagian Timur akan dikembangkan menjadi daerah kawasan industri.





Sumatra Selatan
Sistem kelistrikan di Propinsi Sumatera Selatan sudah terintegrasi dengan Propinsi Jambi dan Bengkulu. Sebagian kecil kebutuhan tenaga listrik disuplai dengan sistem yang terisolasi berkisar 47 GWH atau dengan beban puncak 13 MW. Beban Puncak yang dicapai untuk sistem integrasi di Sumatera Selatan mencapai 285 MW dengan konsumsi listrik mencapai 1500 GWH. Kapasitas terpasang sistem terisolasi hanya mencapai 22 MW yang disuplai dengan PLTD. Disamping listrik dari PT PLN (Persero) juga terdapat captive power yang diperkirakan mencapai 816 MVA, yang terdiri dari pembangkit utama sebesar 610 MVA dan 206 MVA sebagai cadangan.

Bengkulu
Beban puncak di Propinsi Bengkulu mencapai 48 MW dan sebagian besar sudah terintegrasi dengan total konsumsi listrik 225 GWH. Khusus untuk remote area dan listrik perdesaan masih disuplai sistem yang terisolasi dengan beban puncak 7 MW dan konsumsi 23 GWH. Kapasitas terpasang untuk area yang terisolasi diperkirakan sebesar 20 MW yang disuplai melalui PLTD dan 1,7 MW melalui PLTM. Rasio elektrifikasi Propinsi Bengkulu telah mencapai 50% lebih tinggi dibandingkan dengan Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Melalui Renstra Pemerintah Daerah Propinsi Bengkulu, seluruh desa diharapkan sudah dapat menikmati aliran listrik dengan mengupayakan masuknya listrik pada daerah yang sulit dijangkau dengan pemanfaatan energi setempat seperti PLTMH dan PLTS.

Lampung
Propinsi Lampung terdiri dari 1.940 desa, dan yang belum mendapat aliran listrik sebanyak 690 desa atau terdapat 35% desa yang belum berlistrik. Kapasitas terpasang terdiri dari PLTD dan PLTA dengan daya terpasang 230 MW dan daya mampu mencapai 139 MW sedangkan beban puncak mencapai 290 MW. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik 30% dari kebutuhan yang ada telah disuplai dari sistem pembangkit Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Selain penyediaan tenaga listrik yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) terdapat penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) sebagai penggunaan utama maupun cadangan.
Bangka Belitung
Jumlah penduduk Propinsi Kepulauan Bangka Belitung 0,9 juta jiwa dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,4% per tahun dengan komoditi strategis pariwisata, pertanian, kelautan dan industri. Kondisi kelistrikan disuplai oleh PT PLN (Persero) dan pihak swasta untuk pemakaiannya sendiri dari PT Timah Tbk, dan PT Koba Tin. Melalui PT PLN (Persero) Propinsi Kepulauan Bangka dan Belitung memiliki daya mampu sebesar 31 MW dan beban puncak mencapai 31 MW. Penambahan daya dalam waktu dekat sangat diperlukan. Rasio elektrifikasi sudah mencapai 62% dari 185 desa, sedangkan desa yang belum berlistrik berjumlah 84 desa. Pemerintah Daerah sangat mendorong pencapaian diversifikasi energi. Dengan adanya PLTU batubara skala kecil memungkinkan penganekaragaman sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik dan dapat mensubstitusi pemakaian BBM. Pemerintah Daerah juga sedang merumuskan tarif listrik regional.

http://indone5ia.files.wordpress.com/2011/12/jaringan-transmisi-sumatra.png?w=480&h=298
Gambar 1 Jaringan Transmisi Pulau Sumatra

Batam
Kelistrikan di Batam disuplai oleh PT. Batamindo yang melistriki industri dan PT. PLN Batam. Kapasitas pembangkit PLN termasuk sewa adalah 195 MW sedangkan Non-PLN 150 MW. Kelistrikan yang disuplai oleh PLN Batam selama sepuluh tahun yang lalu tumbuh rata-rata 20 % per tahun. Produksi dan penjualan tenaga listrik sampai Desember 2003 berturut-turut adalah 725 GWh dan 656 GWh yang melayani konsumen rumah tangga 31%, komersial 46%, industri 14% dan publik dan lainnya adalah 9%. Penanganan losses jaringan telah berhasil dicapai dengan baik yang turun dari 35% sepuluh tahun yang lalu menjadi 9,5% saat ini. Beban puncak mencapai 117 MW dan daya mampu dari total kapasitas 195 MW adalah 156 MW. Untuk menyalurkan tenaga listrik dari pusat pembangkit kepada konsumen telah ada jaringan transmisi 150 KV sepanjang 25 kms dengan gardu induk kapasitas 180 MVA.

http://indone5ia.files.wordpress.com/2011/12/jaringan-transmisi-batam.png?w=640
Gambar 2  Jaringan Transmisi Pulau Batam




3.4   Solusi dari krisis ketenagalistrikan yang terjadi
4.1  Menghemat Energi dalam Menggumakan Energi Listrik
Di era modern ini, semua orang mengetahui bahwa dengan menggunakan energi listrik kita bisa menghasilkan berbagai macam bentuk energi. Kemajuan teknologi membuat beberapa peralatan listrik menjadi lebih efektif dan efisien. Indonesia kaya akan sumber energi, namun kapasitas listrik terpasangnya sangatlah rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Padahal Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk peringkat ke-4 terbanyak di dunia. Inilah penyebab utama Indonesia menjadi negara yang boros akan penggunaan energi.
http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/konsumsi-energi-listrik-dan-kapasitas-terpasang-di-setiap-negara.jpg?w=640
Gambar 2 Konsumsi energi listrik dan kapasitas terpasang di setiap negara
4.2  Laju Pembangunan Pembangkit tenaga listrik
Dalam kurun waktu 2000-2009, Indonesia telah membangun pembangkit listrik dengan laju pertumbuhan sebesar 2,4% pertahun. Selama kurun waktu tersebut, PLTU Batubara dan PLTGU mendom inasi kapasitas pembangkit listrik nasional dengan pangsa sebesar 33% dan 30%. Selama 9 tahun tersebut PLTA, PLTP, dan PLTD juga berkembang dengan laju pertumbuhan berturut turut sebesar 1,7%, 1,6% dan 1,7%. PLTG mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan laju pertumbuhan sebesar 8,8%.
http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/perkembangan-kapasitas-pembangkit-pln-dan-ipp1.jpg?w=640
Tabel 2 Laju peningkatan kapasitas pembangkit listrik PLN dan IPP
Menurut Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasioanl (RUKN) 2010-2030, dalam kurun 20 tahun ke depan Indonesia memerlukan tambahan tenaga listrik kumulatif sebesar 172 GW. Dari jumlah itu, 82% (sekitar 142 GW) diantaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan Jawa-Madura-Bali (JAMALI).  Tambahan kapasitas PLTU Batubara mencapai pangsa sekitar 79% atau mendominasi dengan total penambahan kapasitas sebesar 116,4 GW. Tambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga air (PLTA) selama kurun waktu tersebut adalah sebesar 3,8 GW.

http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/tambahan-kapasitas-pembangkit-listrik-indonesia-dalam-rentang-waktu-2010-2030.jpg?w=576&h=205
Gambar 3 Rencana tambahan kapasitas pembangkit listrik Indonesia dalam rentang waktu 2010-2030
4.3  Tujuan Utama : Mengurangi Subsidi Pemerintah
Permasalahan di bidang energi muncul saat kita mulai membicarakan subsidi BBM dari pemerintah. Indonesia mengalami kerugian berlipat-lipat dari program subsidi BBM untuk sarana transportasi saja, antara lain : (1) Devisa negara melayang dipakai untuk membeli minyak (2) Devisa negara melayang dipakai untuk subsidi BBM (3) BBM yang bersubsidi hanya dipakai oleh golongan menengah ke atas untuk menghadapi kemacetan  di jalan raya perkotaan.
Oleh karena itu, untuk pembangkitan listrik Indonesia harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit listrik berbahan bakar BBM. Sebagai contoh untuk memenuhi kebutuhan listrik di Wamena, pemerintah mengangkut solar menuju pembangkit listrik dengan menggunakan pesawat udara. Harga solar yang seharusnya Rp. 6.000/liter itu, harganya membengkak menjadi 16.000/liter. Atau dengan kata lain, biaya pengiriman solar ke Wamena tiap bulan saja menghabiskan biaya rata-rata sebesar RP. 1.132.362.000,00. Bayangkan jika uang sebesar itu digunakan untuk membangun infrastruktur di Wamena. Untuk sekedar diketahui bahwa dalam kurun waktu 2004-2010 rata-rata subsidi BBM Indonesia adalah sebesar 90 trilyun rupiah. Sedangkan subsidi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun mencapai sekitar 20 kali lipat dari tahun 2004.
http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/subsidi-bbm-dan-listrik.jpg?w=640
Gambar 4 Besarnya subsidi BBM dan listrik setiap tahun
Selain itu hampir setiap tahunnya subsidi BBM menunjukan suatu pola bahwa realisasinya selalu lebih tinggi dari perhitungan anggaran yang sudah direncanakan di APBN. Hal ini menunjukkan bahwa masih lemahnya mekanisme dalam perhitungan dan monitoring subsidi BBM maupun listrik. Subsidi yang dialokasikan sebenarnya masih belum tepat jumlah dan tepat sasaran.
Jika kebijakan subsidi terus diterapkan, dan masyarakat masih saja boros menggunakan BBM dan listrik sesuai pola yang ada sekarang hingga tahun 2030, maka secara kumulatif diperlukan dana subsidi sebesar 3000 trilyun Rupiah (undiscounted cost)

http://indone5ia.files.wordpress.com/2012/01/subsidi-bbm-berdasarkan-apbn-dan-realisasinya.jpg?w=640

Gambar 5 Subsidi BBM dan listrik dalam APBN dan realisasinya setiap tahun










BAB IV
PENUTUP

4.1   Kesimpulan
a.       Krisis energi adalah kekurangan (atau peningkatan harga) dalam  persediaan sumber daya energi ke ekonomi. Krisis ini biasanya menunjuk ke kekurangan minyak bumi, listrik, atau sumber daya alam lainnya.
b.      Penyebab terjadinya krisis energi adalah hilangnya keseimbangan antara alam dan manusia (disharmoni kosmos), keserakahan yang tak kunjung usai, penyalahgunaan pemakaian energi, dan pemborosan energi listrik.
c.       Krisis energi dapat berdampak pada kenaikan biaya produksi listrik, yang menyebabkan naiknya biaya produksi. Bagi para konsumen, harga BBM untuk mobil dan kendaraan lainnya meningkat, menyebabkan pengurangan keyakinan dan pengeluaran konsumen.
d.      Cara penanggulangan krisis energi antara lain : Mengurangi ketergantungan kita pada minyak, Menciptakan energi mix yang terdiversifikasi melalui energi terbarukan, Beban subsidi bahan bakar harus dikurangi untuk membebaskan pendanaan penting, dan Mencari energi alternatif.
e.       Proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik di Indonesia harus didukung oleh setiap lapisan masyarakat. Jangan ada lagi daerah yang menolak tempatnya dibangun pembangkit-pembangkit listrik skala besar non-BBM. Sebaliknya, pemerintah daerah jangan lagi mengijinkan pihak swasta untuk membangun proyek pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar BBM untuk menyelesaikan masalah krisis listrik di daerahnya.
f.       Seluruh wilayah di Indonesia harus dapat menikmati listrik secara berkecukupan agar pertumbuhan ekonomi di setiap daerah bisa meningkat dengan merata. Tugas selanjutnya setelah semua daerah di Indonesia terlistriki adalah membuat sistem interkoneksi yang menghubungkan seluruh pulau di Indonesia. Apabila percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan ini berjalan dengan baik, hal ini memungkinkan kita untuk menghemat energi nasional.


Daftar Pustaka

http://nenygory.wordpress.com/2011/05/30/kasus-monopoli-yang-dilakukan-oleh-perusahaan-listrik-negara-pt-pln/
http://indone5ia.wordpress.com/2011/05/14/kondisi-kelistrikan-indonesia/
http://indone5ia.wordpress.com/2011/12/17/kondisi-kelistrikan-di-beberapa-wilayah-di-indonesia/
http://indone5ia.wordpress.com/2012/01/04/kondisi-dan-permasalahan-energi-di-indonesia/
http://www.academia.edu/8968294/MAKALAH



Tidak ada komentar:

Posting Komentar