BAB 1
PENDAHULUAN
Listrik
merupakan salah satu sumber energi fisika yang berhubungan dengan hajat hidup
orang banyak. Selain memiliki nilai ekonomis, listrik juga berfungsi sosial.
Jika dilihat dari proses penemuannya, listrik sebagai energi lahir untuk memudahkan
problem aktifitas manusia. Listrik juga telah dianggap sebagai penggerak
peradaban manusia. Sehingga sangat membantu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, ekonomi, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Jadi,
ketika sektor ini mengalami krisis, maka memiliki efek domino atas sektor
lainnya.
Energi
listrik sebagai material bergerak bukan hanya bersifat ilmu pengetahuan.
Pengaruhnya yang telah menyentuh seluruh sendi kehidupan membuat energi ini
menjadi komponen yang masuk dalam kebijakan politik. Artinya, posisi dan peran
strategis ketenagalistrikan dianggap sebagai energi nasional suatu negara.
Dengan demikian, sebagai energi nasional yang strategis, dalam
penyelenggaraannya, juga harus hati-hati.
Akan
tetapi, pengelolaan terhadap energi nasional yang strategis ini belum
sepenuhnya terpenuhi. Kompleksitas yang ada dalam ketenagalistrikan menjadikan
sektor ini dianggap tidak strategis bagi pembangunan nasional. Terlihat dari
produktifitas Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang belum merata dalam
pendistribusian atas kebutuhan energi listrik untuk seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat awam tahu benar , yang tanpa pemahaman yang ilmiah, bahwa masih
banyak daerah yang tidak teraliri energi listrik untuk kebutuhan sehari-hari,
pemakaian listrik secara ilegal (pencurian arus), pencurian kabel, manipulasi
materan listrik, penunggakan pembayaran, serta tidak adanya kuota yang berbeda
dari kebutuhan yang berbeda.
Jadi
asumsi masyarakat terhadap PLN adalah kinerja yang buruk, koruptif, dan
manajemen yang tidak profesional. Dari pihak PLN sendiri, yang menjadi alasan
atas persoalan krisis energi listrik ini adalah alokasi anggaran yang kurang
untuk semua kebutuhan produksi dan distribusi listrik sehingga solusi
alternatifnya adalah perlunya pasokan dari perusahaan swasta.
BAB 2
PEMBAHASAN
Krisis
terjadi ketika terjadi ketimpangan (disparitas) antara kebutuhan dengan alat
pemuas kebutuhan. Semakin tingginya tingkat kebutuhan untuk konsumsi listrik di
satu sisi, dan ketersediaan energi listrik yang terbatas, menjadi penyebab
pokok dari krisis. Akan tetapi, perlu juga diperhatikan siapa saja subjek
dominan dari konsumen listrik. Naiknya kebutuhan energi listrik bagi kelompok
ekonomi menengah ke atas bisa dikatakan menjadi penyebab krisis.
Potensi
terjadinya krisis listrik sudah nampak di depan mata. Tanpa adanya kesadaran
bersama dari semua pihak terkait termasuk masyarakat, krisis listrik akan sulit
dihindari. Salah satu hambatan yang selama ini sering dihadapi adalah terkait
persoalan pembebasan lahan. Pemerintah, disatu sisi harus dapat memenuhi
kebutuhan listrik untuk masyarakat. Namun di lapangan, dalam proses untuk
memenuhi kebutuhan listrik tersebut sering bersinggungan juga dengan
masyarakat.
Persoalan
inilah yang selama ini sering menghambat, ini harus menjadi kesadaran bersama
bahwa pembangunan infrastruktur listrik bukan untuk kepentingan pemerintah
semata, namun untuk kepentingan masyarakat juga. Pemerintah dalam melaksanakan
suatu program tentunya akan berpegang pada aturan perundang-undangan. Selama
tidak melanggar aturan yang ada, seharusnya tidak perlu lagi ada hambatan di
lapangan.
Seperti
halnya persoalan yang muncul di proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap (PLTU) Batang, muncul persoalan pembebasan lahan yang menyebabkan terhambatnya
pelaksanaan pembangunan. Padahal, segala proses yang telah dilakukan sudah
sesuai dengan peraturan Undang-undang No 22 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Sehingga,
segala persoalan yang muncul dalam pelaksanaannya bisa didiskusikan dan segera
dicarikan solusi yang menguntungkan semua pihak. Agar pelaksanaan programnya
bisa segera diselesaikan, sehingga manfaatnya pun bisa segera dirasakan.
Masalah ketenagalistrikan di
Indonesia merupakan masalah mendesak yang harus segera diatasi, yang apabila
diabaikan akan berdampak kedalam seluruh sektor ekonomi. Ketidak-handalan PLN
dalam menyediakan pasokan tenaga listrik akan memicu persoalan besar di
masyarakat.
Langkah penyehatan PLN adalah
sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi, jika kita masih menginginkan Pasal
33 UUD 1945 sebagai jiwa bisnis PLN. Penurunan Biaya Pokok Produksi (BPP) yang
diikuti oleh pengurangan subsidi secara bertahap memerlukan kebersamaan langkah
dengan berbagai instansi pemerintah.
Langkah-langkah berat yang jadi PR
Direksi PLN, setidak-tidaknya adalah untuk dapat menjalankan hal-hal sebagai
berikut.
Jangka
Pendek (kurang dari 6 bulan)
Membangun
image sebagai PLN baru, yang bersih dan transparan.
Melengkapi
crash-program pembangunan PLTU dengan turut memfasilitasi percepatan
proses pembangunan pembangkit listrik oleh swasta, dalam rangka memenuhi
kebutuhan mendesak.
Membangun
kembali rasa percaya diri para karyawan maupun kelembagaan, serta mengembangkan
dialog tentang masalah alternatif pengelolaan BUMN ketenagalistrikan yang
berkaitan dengan isu kompetisi dan unbundling.
Membentuk
tim khusus untuk segera memulai pelaksanaan proses pemenuhan kebutuhan gas.
dengan target agar dalam waktu singkat pasokan gas untuk PLTGU/PLTG yang selama
ini menggunakan lebih dari 7 juta kiloliter BBM dapat terpenuhi.
Melaksanakan
kajian finansial untuk melaksanakan terobosan untuk optimalisasi subsidi
APBN/APBD
Melaksanakan
kajian terhadap struktur organisasi sesuai dengan revisi UU Kelistrikan.
Jangka
Menengah (kurang dari 2 tahun)
Partisipasi
aktif PLN dalam menyusun kembali
aturan-aturan yang berkaitan dengan tata niaga sumber energi primer (migas,
batubara dan panas bumi).
Melanjutan
implementasi crash program pembangunan pembangkit listrik yang masih
mengutamakan pemanfaatan panas bumi.
Mentuntaskan
perjuangan agar regulasi energi primer (batubara & gas) mendukung pemenuhan
kebutuhan domestik untuk pembangkit tenaga listrik.
Melaksanakan
perencanaan perobahan organisasi dan anak-anak perusahaan, agar dapat
mengoptimalkan SDM dan aset perusahaan sesuai implementasi UU Ketenagalistrikan
yang baru.
Kerjasama
pengembangan energi alternatif (biofuel) dan pembentukan tim khusus untuk
pengembangan unit usaha pembangkit listrik hybrid untuk daerah terpencil
(biodiesel – surya dan angin).
Jangka
Panjang
Meningkatkan
efisiensi teknis maupun administratif dengan sasaran ”single-digit losses”.
Target ini dapat dicapai jika PLN mampu melakukan perbaikan jaringan,
pemberantasan pencurian, perbaikan sistem penerangan jalan umum dan memperbaiki
sistem pembacaan dan peneraan meter.
Melakukan
terobosan kebijakan finansial untuk mengurangi subsidi pemerintah kepada PLN
secara bertahap, dan menggantikannya dengan pinjaman khusus dengan jaminan dan
subsidi bunga dari pemerintah, sehingga kegiatan operasional PLN dapat terus
terlaksana dengan resiko yang minimum.
Memberantas
praktek-praktek mark-up biaya pengadaan maupun pelaksanaan pembangunan
proyek-proyek melalui pengawasan prefentif dalam bentuk pre-audit terhadap
seluruh rencana jangka panjang serta rancang bangun yang disiapkan.
Proyek-proyek PLN tidak boleh jadi bancakan ”orang dekat pusat kekuasaan”
maupun kroni pejabat PLN sendiri. Hal ini perlu digaris bawahi mengingat dimasa
lalu nilai investasi selalu di ”mark up” mulai dari tahap disain sampai
pengadaan barang, dan akibatnya akan menambah biaya tetap untuk produksi
listrik per kWh.
Mempelopori
hijrah sikap dengan merubah paradigma usaha, dari sebuah tim ”birokrat
regulator” menjadi ”enterprenur profesional”. Para direksi selain memiliki
kompetensi teknis juga memililiki kemampuan untuk melakukan negosiasi bisnis,
serta kreatif dalam mencari pemecahan masalah yang dihadapi perusahaan.
Merampingkan
struktur organisasi melalui ”re-engineering process” agar pendayagunaan
SDM lebih effektif. Selain itu perlu dilakukan pengkajian kembali mata rantai
suplai produksi listrik agar dapat dilakukan outsourcing yang tepat, bukan
dengan mengembang biakkan anak cucu perusahaan seperti sekarang. Harus
dilakukan upaya untuk meninjau kembali keberadaan anak-anak dan cucu
perusahaan, yang meskipun terlihat menguntungkan, karena sifat monopolistiknya
seringkali hanya menjadi parasit yang menyerap potensi keuntungan usaha PLN.
Memberikan
perhatian khusus kepada upaya-upaya untuk memperoleh sumber energi primer yang
murah, melalui dukungan kepada pengembangan energi alternatif, memberikan
sumbangan pikiran tentang tata niaga energi primer (batubara, gas alam dan
panas bumi), agar benar-benar mengutamakan kebutuhan dalam negeri.
Mengupayakan
dukungan pemerintah agar memfasilitasi pemecahan masalah-masalah finansial yang
muncul karena tidak ”normal”nya kondisi PLN sebagai suatu business entity dalam
memperoleh pendanaan atas proyek-proyek pengembangan infra strukturnya.
Melakukan
kajian ulang yang lebih komprehensif terhadap karakter beban di pulau Jawa, dan
terhadap keandalan sistem yang digunakan sekarang dengan mempertimbangkan
seluruh variabel-variabel ekonomi yang relevan.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
yang penulis dapatkan adalah penyelesaian masalah dari ketenagalistrikan yang
masih belum dilaksanakan secara langsung atau bertahap. Saran dari penulis
adalah laksanakan penyelesaian masalah krisis ketenagalistrikan secara bertahap
secara tepat dan cepat.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar