Daftar
isi
i.
Bab I Pendahuluan................................... 1
ii.
Bab II Pembahasan................................... 2
a.
Fungsi Listrik Bagi Masyarakat
b.
Kenaikan Tarif Dasar Listrik
c.
Dampak-Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik
iii.
Bab III Kesimpulan....................................
11
iv.
Daftar pustaka..........................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
Memang serba susah menjadi pelanggan
listrik PLN di negeri ini. Pasalnya, selain pelayanannya masih buruk dan kurang
memuaskan masyarakat, ia seringkali ada pemadaman listrik (byar pet).
Padahal
listrik merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Dengan
adanya listrik proses produksi yang dilakukan oleh industri-industri di
Indonesia menjadi lebih cepat, efektif dan efisien. Karena posisinya yang
begitu sentral itu, maka apapun kondisi atau sesuatu yang timbul dari listrik
akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat, termasuk tarifnya. Sehingga,
kebijakan pemerintah menaikkan TDL sekitar 10% hingga 15%, seperti kebijakan
yang akan berlaku mulai awal Juli ini menambah beban bagi sebagian besar rakyat yang
sebenarnya sudah sangat berat. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya
biaya produksi di dunia usaha dan pada akhirnya akan memicu inflasi dalam
negeri.
Walaupun kenaikan TDL tidak
memberikan efek besar dalam inflasi, yaitu diperkirakan hanya 0,36-0,4%, namun
dengan adanya kenaikan TDL tersebut, kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis
barang produksi, baik produksi makanan ataupun lainnya akan mengalami kenaikan
harga akibat produsen menaikkan harga jual. Hal ini akan terus berlanjut karena
pertengahan bulan Agustus sebagian besar warga negara Indonesia yang mayoritas
muslim akan menjalani bulan Ramadhan dan diikuti dengan hari raya Idul Fitri.
Otomatis dengan berbagai kondisi tersebut, kebutuhan akan barang-barang pokok
akan melambung tinggi dan inflasi-pun akan semakin tak terhindarkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi
Listrik Bagi Masyarakat
Listrik, dapat dikategorikan dalam
barang yang “menguasai hajat hidup orang banyak”, sebagaimana ketentuan pasal
33 UUD 1945. Di dalam ilmu ekonomi listrik bisa menjadi barang publik atau
barang swasta, karena ia bisa diproduksi oleh Negara atau perusahaan. Di negara
yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini,
menyebabkan listrik diproduksi oleh Negara.
Di dalam sistem perekonomian
sosialis, sebagian besar barang-barang swasta dihasilkan oleh pemerintah.
Berbeda dengan sistem perekonomian liberal dimana sebagian besar barang-barang
publik dihasilkan oleh sektor swasta. Sedangkan di dalam sistem ekonomi
Indonesia yang mengedepankan keadailan sosial, pemerintah beserta aparatur
negara harus menghitung dititik mana sumber-sumber ekonomi yang ada dihasilkan
seoptimalkan mungkin sehingga tujuan masyarakat adil dan makmur tercapai.
Memang listrik bukanlah barang yang
murni bersifat public goods, dalam arti tidak ada seorangpun yang mau
membayar jika menggunakan barang tersebut. Jadi, jika sekian orang menggunakan
listrik kemudian ada satu orang lagi yang menggunakan listrik maka tambahan
satu orang ini tidak menambah biaya.
Maka dari pengertian di atas,
listrik bisa dimasukkan kedalam kategori quasi public goods yang artinya
seseorang harus mengorbankan pendapatannya guna menikmatinya. Karena biaya yang
ditanggung sektor kelistrikan ini begitu besar, maka timbullah sifat monopoli
ilmiah dimana hanya perusahaan Negara yang mampu menyelenggarakannya.
Listrik merupakan komoditi yang
mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu yang tidak semua orang atau perusahaan
dapat melakukannya. Pertama, adalah vitalnya, sehingga merupakan jasa
publik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kedua, adalah
sifatnya, yang merupakan natural monopoly, karena distribusi dan
transmisinya yang tidak dapat dilakukan oleh banyak perusahaan sekaligus di
dalam persaingan.
Makanya, PLN (Perusahaan Listrik
Negara) menjadi salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak dalam
bidang kelistrikan dan bertujuan menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mengupayakan agar tenaga listrik
menjadi pendorong kegiatan ekonomi.[1]
PLN adalah monopolis bidang
kelistrikan yang diberikan hak oleh pemerintah untuk melakukan monopoli.
Monopoli jenis ini adalah monopoli yang tidak diusahakan untuk mendapatkannya,
melainkan adalah monopoli yang diberikan.[2]
Kebutuhan energi listrik dari waktu
ke waktu makin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk, perkembangan
industri, perluasan wilayah, serta perkembangan teknologi dan kemajuan
peradaban manusia. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak disertai dengan
peningkatan daya yang diproduksi pihak perusahaan, sehingga mengakibatkan
banyak daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan keperluannya.
Hal ini kemudian menjadi sangat ironis ketika pemerintah justru menaikkan TDL.
B. Kenaikan
Tarif Dasar Listrik
Rencana kenaikan tarif dasar listrik
(TDL) sudah mulai terdengar sejak awal bulan April 2010 melalui pernyataan
Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral, Jacobus Purwono. Beliau menyebutkan bahwa pemerintah berencana
menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bagi golongan daya 450-900 VA sebesar 10%,
sementara bagi pelanggan di atas 900 VA atau menengah ke atas (konsumsi mulai
dari 1.300 VA) akan terkena kenaikan dengan rerata 14%-18%.
Kenaikan TDL yang rencananya
diberlakukan mulai awal Juli 2010 tersebut tidak berlaku bagi pelanggan kecil
(450-900 VA) yang konsumsi listriknya di bawah 30 kWh per bulan. Sedangkan bagi
pelanggan menengah ke atas (di atas 900 VA) tanpa pengecualian konsumsi
listriknya dikenakan kenaikan.
Berikut lebih jelasnya rincian
kenaikan TDL baru yang bakal diterima pelanggan listrik per 1 Juli 2010
mendatang:
I. Pelanggan Rumah Tangga (R)
1. Pelanggan R1 daya 1.300VA,
rata-rata pemakaian listrik 200 kWh/bln, biaya pokok produksinya Rp1.163 per
kWh, TDL sebelum naik rata-rata Rp672 per kWh, rata-rata kenaikan TDL
ditetapkan sebesar 18%. Dengan demikian tarif baru yang mulai berlaku per 1
Juli mendatang rata-rata mencapai Rp793 per kwh.
2. Pelanggan Rumah Tangga R1, daya
2.200 VA, pemakaian listrik rata-rata 355 kwh per bulan, besaran biaya pokok
produksi (BPP) Rp1.163 per kwh, TDL rata-rata sebelum naik Rp675 per kwh.
Rata-rata kenaikan 18%, sehingga tarif baru sesudah naik rata-rata jadi Rp797
per kwh.
3. Pelanggan Rumah Tangga R2, daya
3.500 VA sampai dengan 5.500VA, rata-rata pemakaian listrik 636 kwh/bln, BPP
mencapai Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp755 per kwh, dengan kenaikan sebesar
18%, maka tarif baru menjadi Rp891/kwh.
II. Kelompok Pelanggan Kelas Bisnis (B)
1. Untuk B1, daya 1.300 VA,
rata-rata pemakaian 198kwh/bln, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp685/kwh,
naik sebesar 16%, sehingga harga tarif baru menjadi Rp795/kwh.
2. Untuk B2, daya 2.200 VA-5.500VA.
Rata-rata pemakaian 307 kwh/bulan, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik
Rp782/kwh, naik 16%, tarif sesudah naik menjadi Rp907/kwh.
3. Untuk B3, di atas 200 KVA,
rata-rata pemakaian 212,249, BPP 839/kwh, harga sebelum Rp811/kwh, naik 12%,
tarif sesudah naik menjadi Rp908/kwh.
III. Kelompok Pelanggan Industri (I)
1. Pelanggan I1, daya 1.300 VA,
rata-rata pemakaian 178kwh/bln, BPP 1.163/kwh, tarif sebelum Rp724/kwh, dengan
kenaikan 6%, maka tarif baru menjadi Rp767/kwh.
2. Pelanggan I2, daya 2.200 VA,
rata-rata pemakaian 273 kwh per bulan, BPP Rp1.163/kwh, tarif sebelum naik
Rp746/kwh, kenaikan 6%, maka tarif sesudah naik menjadi Rp790/kwh.
3. Pelanggan I3, daya 2.200VA sampai
dengan 14 KVA, rata-rata pemakaian 872/kwh/bln, BPP Rp1.163, tarif sebelum naik
Rp872/kwh, kenaikan 9%, maka tarif baru menjadi Rp916/kwh.
4. Pelanggan 14 KVA sampai dengan
200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 11.342, BPP Rp839/kwh, tarif sebelum
naik Rp805/kwh, kenaikan 9%, tarif baru Rp878/kwh.
5. Pelanggan di atas 200 KVA,
rata-rata pemakaian per bulan 314.435, BPP Rp 839/kwh, TDL sebelum naik
Rp641/kwh, kenaikan 15%, tariff baru menjadi Rp737/kwh.
6. Pelanggan di atas 30.000,
rata-rata pemakaian 16.592.651, BPP Rp718/kwh, tarif sebelum naik 529/kwh,
kenaikan 15%, tarif baru menjadi Rp608/kwh.[3]
Persetujuan kenaikan TDL dicapai
dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Darwin Saleh yang dipimpin
Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya di Jakarta hari Selasa tanggal
15/6/2010.
Persetujuan Komisi VII DPR tersebut
merupakan tindak lanjut UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang APBN Perubahan 2010.
Sesuai Pasal 8 UU 2 Tahun 2010, alokasi anggaran subsidi listrik ditetapkan
Rp55,1 triliun dengan asumsi TDL dinaikkan rata-rata 10 persen mulai 1 Juli
2010 untuk menutupi kekurangan subsidi Rp4,8 triliun.
Dengan kenaikan 15 persen saja,
pemerintah masih harus menambah subsidi listrik dari Rp 37,8 triliun dalam APBN
2010 menjadi Rp 54,5 triliun dalam RAPBN-P 2010. Namun jika TDL batal
dinaikkan, maka subsidi akan bertambah Rp 7,3 triliun.
C.
Dampak-Dampak
Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Hal yang menarik untuk dikaji
berkenaan dengan kenaikan TDL adalah dampak yang akan ditimbulkan terhadap
kondisi ekonomi pelanggan kecil. Secara langsung, dampak kenaikan TDL tercermin
dari meningkatnya angka inflasi.
Dalam ilmu ekonomi, inflasi
adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar. Ia dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak
lancaran distribusi barang. Dengan kata
lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu
peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang
dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika
proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan
peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai
penyebab meningkatnya harga. [4]
Inflasi dapat digolongkan menjadi
empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi
ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun;
inflasi sedang antara 10% - 30% setahun; inflasi berat antara 30% - 100%
setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan
harga berada di atas 100% setahun.
Inflasi dapat disebabkan oleh dua
hal, yaitu tarikan permintaan dan desakan biaya produksi.
1. Inflasi tarikan
permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan
total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga.
Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya
permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan
harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam
permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full
employment.
2. Inflasi desakan
biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input)
sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut
naik. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu; kenaikan
harga, misalnya bahan baku; dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS
akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
Badan Pusat Statistik (BPS)
menjelaskan sebenarnya kenaikan inflasi sebagai dampak langsung kenaikan TDL
yang akan diterapkan Juli 2010 diperkirakan hanya sebesar 0,36%. Namun yang
perlu dikhawatirkan adalah imbasnya terhadap sektor industri. Inflasi akan
semakin membengkak bila kenaikan TDL itu kemudian menyebabkan efek ganda dan
memicu para produsen menaikkan harga barang dan jasa secara sepihak.
Tambahan angka inflasi hingga
0,4%-0,5% tersebut telah dimasukkan dalam perhitungan angka inflasi dalam
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RABN-P) 2010 yang
dipatok di level 5,3%.
Jika tidak ada kenaikan TDL
diperkirakan inflasi itu di kisaran 4,5-4,8%, namun untuk mengamankan inflasi
dari kenaikan TDL dan hal-hal lainnya maka asumsi angka inflasi dalam RAPBNP
2010 dipasang di angka 5,3%.
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
mulai 1 Juli 2010 mendatang akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor,
baik makro maupun mikro. Secara makro, dampak kenaikan TDL ditunjukkan dari
menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan
kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari
menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of
production).
Dalam sektor Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) yang sedang menghadapi era pasar bebas, kenaikan TDL
pada Juli ini akan berdampak besar ke depannya. Apalagi Agustus 2010 sudah
memasuki bulan Ramadhan yang meski dampak kenaikan TDL terhadap peningkatan
harga barang kecil, namun tetap berdampak khususnya rakyat kecil.
Seharusnya kenaikan ini mempertimbangkan
dampak terhadap kenaikan biaya/ongkos produksi dan biaya barang dari UMKM, yang
akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sebab, harus disadari kenaikan tarif
dasar listrik (TDL) ini juga akan berdampak signifikan terhadap pelaku industri
terutama baja, tekstil, petrokimia serta usaha kecil dan menengah (UKM),
menyebabkan turunnya pendapatan riil rumah tangga golongan bawah yang notabene
adalah sebagian besar pelanggan kecil dari PLN. Turunnya pendapatan tersebut
pada gilirannya juga akan menurunkan permintaan akan barang dan jasa. Sektor
ekonomi yang paling besar terkena dampaknya adalah sektor industri makanan yang
akan mengalami penurunan permintaan.
Karena terjadi penurunan permintaan,
para produsen akan mengurangi produksinya. Hal itu akan menyebabkan turunnya
balas jasa atau insentif yang diterima para buruh. Sehingga pada akhirnya
kenaikan TDL akan mengurangi pendapatan institusi, yaitu kelompok masyarakat
paling bawah.
Sebenarnya, faktor penentu harga
jual listrik yang terpenting adalah ketersediaan pasokan energi pembangkit.
Atas dasar itu, langkah PLN untuk memastikan terhentinya pemadaman listrik (byar
pet) pada 30 Juni 2010 harus dibayar dengan biaya energi yang tinggi.
[5] Unbundling Juga bisa sebagai
penyebab kenaikan harga tarif dasar listrik (HTDL) hingga 50 persen, karena
setiap entitas (pembangkitan, transmisi dan distribusi) harus menanggung beban
administrasi dan operasional sendiri-sendiri. Belum lagi dengan misi
profitisasi PLN yang memprioritaskan laba daripada fungsinya sebagai public
service obligation. Hal ini seiring dengan keikutsertaan swasta yang tidak
akan membuat tarif listrik semakin murah tetapi semakin mahal karena swasta
akan berupaya mendapat keuntungan lebih dari investasinya.
Selain itu, dampak negatif dari
penurunan subsidi listrik pada sisi makro dan perdagangan internasional,
terutama menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan kerja,
dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional, maka sebagai
kompensasinya pemerintah perlu menempuh kebijakan lain terutama di sektor riil
dengan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan efisien.
Kebijakan pemerintah menaikkan tarif
dasar listrik (TDL) cukup memukul dunia usaha Indonesia. Berikut ini contoh konkrit dampak TDL bagi kehidupan
ekonomi. Misalnya, industri
tekstil yang selama ini menjadi primadona di dalam pasar ekspor mengalami
pukulan yang cukup telak. Apalagi saat ini pasaran tekstil internasional sedang
mengalami kelesuan akibat melemahnya perekonomian dunia dan melimpahnya produk
tekstil di pasar internasional, terutama dari Korsel dan Cina. Untuk
mengantisipasi dan menyesuaikan kondisi ini, maka pengusaha tekstil dalam negeri
harus lebih efektif menggarap pasar baru dan efisien dalam berproduksi serta
mempunyai daya tawar dan daya jual yang lebih baik.
Kenaikan ini juga menjadi masalah
yang cukup rumit bagi pengusaha tekstil karena berkaitan dengan perhitungan cost
dan harga jual dengan buyer. Selama ini kontrak pesanan dilakukan tiga
bulan sebelum produksi sehingga perhitungan harga jualnya masih menggunakan
perhitungan sebelum kenaikan TDL. Hal ini akhirnya mengakibatkan turunnya
marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha tekstil karena tidak mungkin lagi
menaikkan harga jualnya terhadap buyer.
Berdasarkan data dari Assosiasi
Pertekstilan Indonesia pada Juni 2010, biaya produksi industri tekstil
meningkat hingga 4,5 persen dimana komponen listrik menyumbang 30 persen dari keseluruhan
biaya produksi tekstil.
Ada beberapa pilihan tindakan
penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pengusaha tekstil dalam menghadapi
kenaikan TDL, antara lain :
1. Rasionalisasi
karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan bagian produksi
(buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah buruh.
2. Penurunan
marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan
keuntungan perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi
dinaikkan sedangkan biaya produksi untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan.
Bahkan keuntungan juga berkurang karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan
rata-rata persentase kenaikan sebesar 10% - 15%. Perusahaan tidak melakukan
rasionalisasi karyawan tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan
tetapi hal ini tidak akan mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA
akan berpikir bahwa investasi di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga
ada kecenderungan untuk mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar
negeri. Apabila hal ini terjadi maka iklim investasi di Indonesia akan
terganggu dan dunia usaha akan semakin mengalami kemunduran.
3. Meningkatkan
harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan oleh
perusahaan lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar
negeri. Dengan melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka
perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan
ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan
daya beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen
meningkat akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga
kebutuhannya, misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan
kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Ketiga alternatif pilihan tersebut
sangat merugikan masyarakat. Apabila alternatif pertama ditempuh, perusahaan
akan sedikit berhemat dalam cost upah buruh, tetapi dampaknya adalah
terjadi PHK besar-besaran dan pengangguran dimana-mana. Hal ini jelas menambah
beban pengangguran Indonesia, dimana masih banyak masyarakat Indonesia belum
mendapatkan pekerjaan yang layak. Berdasarkan data yang diperoleh penulis,
sekarang diperkirakan ada lebih dari 10 juta penganggur terbuka (open unemployed)
dan 31 juta setengah penganggur (undremployed). Masalah pengangguran
bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini
dan ke depan.
Alternatif kedua berdampak pada
keuntungan yang diperoleh perusahaan menurun akibat kenaikan TDL di satu sisi
dan di sisi lain bahan baku juga mengalami kenaikan. Hal ini sangat merugikan
perusahaan dan lebih lanjut timbul kekhawatiran perusahaan akan mengalami
kebangkrutan atau malah gulung tikar.
Pilihan ketiga merupakan pilihan
yang banyak ditempuh oleh perusahaan dalam bidang apapun, kenaikan TDL berimbas
pada peningkatan harga jual produk. Ketika harga barang naik, secara ilmu
ekonomi, maka permintaan akan barang tersebut akan menurun. Terlebih lagi
apabila kenikan harga barang tidak dibarengi dengan kenaikan gaji/pendapatan
masyarakat di sisi lain. Masyarakat golongan bawah yang akan benar-benar
merasakan imbasnya.
D. Sikap
Pemerintah Dalam Mengatasi Dampak Kenaikan TDL
Kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi perlu lebih ditajamkan hingga menyentuh pada persoalan
mendesak. Disamping itu, percepatan restrukturisasi sektor perbankan mutlak
dilakukan guna mendukung bergeraknya sektor riil. Dengan demikian, dampak
negatif kenaikan TDL pada perekonomian dapat direduksi dengan jalan penciptaan
iklim usaha yang lebih favourable.
Hal yang perlu mendapat perhatian
juga adalah perlunya PLN melakukan sosialisasi sebelum kenaikan TDL
diberlakukan kepada seluruh sektor, khususnya kepada sektor industri tekstil
yang paling banyak menggunakan tenaga listrik dan tenaga kerja. Sosialisasi
tersebut sangat penting untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi.
Selama ini kenaikan TDL lebih
cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada pemberitahuan terlebih
dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh
karena mereka tidak bisa melakukan antisipasi sebelumnya. Oleh karena itu,
sebaiknya pemerintah terlebih dahulu melakukan sosialisasi kenaikan TDL
tersebut dengan mengadakan seminar/diskusi dengan dunia usaha sehingga
perusahaan bisa melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya.
Seharusnya,
masalah krisis listrik bukan diatasi dengan menaikan tarif, tetapi secara bijak
mencari energi alternatif. Walaupun jalan yang harus ditempuh pada akhirnya
adalah dengan menaikkan tarif listrik, catatan penting bagi PLN selaku pemegang
otoritas bidang kelistrikan adalah pelayanan yang lebih baik dan tidak adanya byar
pet yang akan menghambat jalannya produksi dalam negeri, merugikan
perusahaan khususnya dan masyarakat pada umumnya,
Dampak dari
kenaikan TDL tersebut akan semakin menghimpit masyarakat kecil karena akan
memicu kenaikkan harga barang-barang. Sedangkan upah buruh maupun pegawai tidak
mengalami kenaikan untuk menyesuaikan dampak kenaikan tersebut.
Melihat fenomena tersebut di atas,
semestinya pemerintah berperan dalam mengatur kegiatan perekonomian sehingga ia
dapat melakukan kegiatannya dengan lebih stabil dan
selalu menuju ke tingkat kesempatan kerja penuh. Seperti diketahui berdasarkan
teori Keynes, tanpa campur tangan pemerintah perekonomian suatu negara tidak
akan mencapai tingkat kesempatan kerja penuh dan kestabilan kegiatan ekonomi
tidak dapat terwujud. Akan terjadi fluktuasi kegiatan ekonomi yang lebar dari
satu periode ke periode lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi yang serius kepada
kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga. Untuk menghindari masalah
itu, Keynes menekankan perlunya campur tangan pemerintah.
Apabila kita flashback dan
mencermati UU tentang ketenagalistrikan No. 20 Tahun 2002[6],
sebenarnya UU tersebut tidak hanya akan membuat tarif listrik mahal tetapi juga
melemahkan peran negara dalam mengatur urusan rakyat, sebab UU ini hanya
mengizinkan pemerintah sebagai regulator. UU ini melanggengkan penjarahan atas
kekayaan negeri ini. Ujung semua ini adalah pengalihan aset negara ke pihak
asing. Pemerintah telah mentransaksikan nasib rakyat dengan kepentingan
kelompok. Kiranya mereka lupa bahwa BUMN itu dibangun dengan uang rakyat sudah
seharusnya berfungsi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan hak dasar rakyat.
Sekali lagi, pemerintah perlu
berhitung lebih cermat tiap kali akan menaikkan TDL. Kebijakan menaikkan TDL
perlu dibarengi dengan pelayanan yang lebih baik, tidak ada pemadaman bergilir
(byar pet), dan perbaikan usaha penyediaan lapangan kerja yang
diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan terutama pada masyarakat
paling bawah. Tanpa usaha tersebut kenaikan TDL akan berdampak negatif karena
akan menurunkan pendapatan riil masyarakat.
Kenaikan TDL bukan satu-satunya
solusi untuk mengurangi subsidi, tapi harus diikuti dengan langkah-langkah
terobosan berupa peningkatan efisiensi dari produk listrik, baik efisiensi
dalam overhead cost yang masih harus ditekan maupun direct cost.
BAB III
KESIMPULAN
Dari sedikit pemaparan di atas, maka
dapat disimpulkan, bahwa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dengan dalih
apapun, tetap saja tidak memihak rakyat terutama golongan menengah ke bawah.
Dampak kenaikan tersebut secara langsung akan menggerus pendapatan masyarakat
kecil dan juga akan memicu inflasi di Indonesia walaupun tidak begitu besar.
Inflasi akan terjadi akibat dari
kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang substitusi yang
disebabkan kenaikan TDL yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2010.
Pemerintah hendaknya
mempertimbangkan dampak tidak langsung dari “kebijakan” menaikkan TDL, bukan
hanya dampak langsung yang hanya diperhitungkan. Karena justru dampak tidak
langsung inilah yang cukup menyengsarakan rakyat kecil dan itu akan
berlangsung lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyidi, Suherman, Pengantar Teori Ekonomi,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Sukirno, Sadono, Makro Ekonomi Modern; Perkembangan
Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
WWW. PLN.
com
......................, “Kenaikan TDL Pasti Akan
Menambah Beban Rakyat Kecil”, dalam http://bataviase.co.id/node/235859. (21 Juni 2010).
………, “Daftar Kenaikan Tarif Listrik per 1
Juli 2010”, dalam, http://oxana.blogdetik.com/2010/06/16/daftar-kenaikan-tarif-listrik-per-1-juli-2010/. (25 Juni 2010)
Djoko Purwanto, “Mewaspadai Dampak Kenaikan Harga
BBM dan TDL”, dalam http://dipisolo.tripod.com/content/artikel/bbm_dan_tdl.htm.
(23 juni 2010).
Sofjan Wanandi, “Tolak Kenaikan Tarif Listrik”, dalam http://www.sasak.net/nasional/ekonomi/42627-sofjan-wanandi-tolak-kenaikan-tarif-listrik.html. ( 22 Juni 2010).
Hatta Radjasa, “Dampak Kenaikan TDL ke Industri
Tidak Terlalu Besar”, dalam http://www.vibizdaily.com/detail/Bisnis/2010/06/22/hatta_dampak_kenaikan_tdl_ke_industri_tidak_terlalu_. (22 Juni 2010).
Muhammad Ma’ruf, Analisis Kecil-Kecilan Terhadap
Kenaikan TDL, dalam http://ngedobos.blogspot.com/2010/03/analisis-kecil-kecilan-kenaikan-raif.html.
(23 Juni 2010).
UU No. 20 Tahun 2010 tentang “Ketenagalistrikan”,
dalam, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2002/20-02.pdf
. (25 Juni 2010).
[4] Sadono Sukirno, Makro Ekonomi
Modern; Perkembangan Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 10.
[5] Unbundling merupakan langkah
menuju privatisasi dan divestasi sebagaimana disebut dalam road map Buku
Putih Departemen Pertambangan dan Energi tahun 1998. Di dalamnya disebutkan
bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling,
profitisasi dan privatisasi. Unbundling (pemecahan) secara vertikal
dilakukan dengan membentuk pembangkitan, transmisi dan distribusi secara
terpisah yang dijalankan dengan mekanisme pasar. Artinya mulai dari pembangkit
hingga ke bagian ritail akan dijual ke swasta. Setiap entitas sudah ada yang
punya, tidak lagi ditangani oleh PLN. Sedangkan pemecahan horizontal dilakukan
melalui pembentukan perusahaan distribusi berdasarkan wilayah